Berkurban hukumnya sunnah muakkadah. Hal ini sesuai pendapat mayoritas ulama. Tapi, jika seseorang sudah berjanji (nadzar) lakukan qurban, maka hukumnya menjadi wajib.
Tersebut di dalam Alquran (Al-Hajj: 29) yang menjelaskan wajibnya memenuhi nadzar dalam berkurban, “Dan hendaklah mereka menepati nadzar-nadzar (janji-janji) mereka.”
Susbtansi nadzar adalah ketika seseorang menjadikan suatu amal yang pada prinsipnya tidak wajib menjadi wajib atas dirinya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT (qurbah) dan dinyatakan dengan ucapan. (Lihat: Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 2013: 2/315)
Para fuqaha telah sepakat bahwa seseorang yang telah bernadzar untuk berkurban maka ia wajib untuk menunaikannya. Tidak membedakan apakah ia kaya (mampu) atau tidak.
Saking pentingnya sebuah janji, setelah orang yang melakukan nadzar itu meninggal tapi belum memenuhinya, maka keluarga yang bersangkutan wajib untuk melaksanakan qurban atas nama dirinya.
Ada dua bentuk nadzar dalam berkurban yang diketahui. Bentuk yang pertama adalah nadzar mu’ayan, seperti ketika seseorang berkata, “Aku bernadzar untuk Allah akan mengurbankan sapi yang ini.”
Bentuk berikutnya adalah nadzar mutlaq, yang secara umum dapat dilihat seperti ucapan seseorang berikut, “Aku bernadzar untuk berkurban,” atau “Aku nadzar berkurban seekor sapi.”
Menurut kalangan Syafiiyah, barangsiapa ber-nadzar qurban mu’ayan, lalu sebelum dikurbankan ternyata hewan cacat yang membuatnya tidak sah, maka ia tidak dapat membatalkan nadzar-nya dan tidak wajib mengganti dengan yang lain.
Adapun jika itu terjadi pada nadzar mutlaq maka ia wajib menggantinya dengan yang lebih baik.
Pendapat kalangan Hanabilah sama dengan Syafiiyah, hanya saja dalam kasus nadzar mu’ayan mereka membolehkan mengganti dengan hewan yang lebih baik.
Hal itu agar tujuan qurban dapat tercapai, yaitu daging qurban untuk kemanfaatan penerimanya. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah: 5/78-79).
(Disadur dari tulisan Biro Kepatuhan Syariah IZI)