Oleh: Firmansyah S.Sos M.Ikom
40 petani di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, menggelar panen massal pada lahan yang bersengketa. Sejumlah transmigran di Seluma bingung 800 hektare lahan sah bersertifikat digarap perusahaan perkebunan. Di Kaur, Bengkulu Utara, nyanyian yang sama juga ditemukan. Persoalan agraria warisan masa lalu tak tuntas kita hadapi.
Bila kita luangkan waktu sebentar saja mengetik kata kunci “konflik agraria di Bengkulu” di mesin pencarian google. Ada ratusan tulisan, artikel, jurnal dan berita akan bermunculan disertai korban petani yang ditembak mati, luka, dipenjara, hingga kerugian pada perusahaan dibakar atau karyawan perusahaan dipukul.
Konflik agraria perusahaan perkebunan versus masyarakat telah lama terjadi. Belum lagi konflik petani dengan pertambangan, kawasan hutan negara, tanah militer dan lainnya. Korban terus berjatuhan.
Di Bengkulu sejarah penyelesaian soal agraria sejatinya ada mencatat keberhasilan di Bengkulu Utara, di Rejang Lebong usaha mereka berhasil melalui jalan damai tanpa kekerasan.
Penyelesaian persoalan agraria hari ini sejatinya dapat dilakukan melalui jalan damai dilindungi konstitusi bahkan sambil dialog di ruang ber AC dan makan-makan. Tak perlu berpanas-panasan di jalan atau berhadap-hadapan dengan Brimob.
Instruksi Presiden
Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres 86 Tahun 2018 tentang reforma agraria. Ini pengejawantahan Nawa Cita. Perpres ini secara tegas memerintahkan sejumlah kementerian berkoordinasi membentuk Satuan Tugas/Gugus tugas penyelesaian konflik agraria yang mengakar secara nasional dengan mempertimbangkan semua aspek, termasuk keberadaan masyarakat adat.
Turunan Perpres ini memerintahkan gubernur, bupati bahkan kepala desa membentuk gugus tugas penyelesaian konflik agraria di wilayah masing-masing. Tim ini berisikan banyak lembaga termasuk masyarakat yang menjadi korban hingga akademisi hukum agraria.
Bagaimana Bengkulu?
Di Bengkulu Gubernur Bengkulu telah membentuk gugus tugas ini, terlebih dahulu membentuk adalah Pemda Rejang Lebong yang berhasil meredistribusikan ribuan sertifikat bekas HGU sebuah perusahaan melalui jalan damai dan sah secara hukum. Sayangnya tidak semua kabupaten memiliki tim ini. Sosialisasi keberadaan tim masih dianggap lemah, sehingga masyarakat yang berkonflik lebih memilih jalur cepat, panen massal atau demo misalnya.
Ada ribuan petani di Bengkulu menjadi korban konflik agraria baik tersembunyi dan terbuka, baik yang berani bersuara atau pasrah. Sayangnya tak banyak politikus lokal mengambil isu ini sebagai isu politik. Padahal petani memerlukan tanah, perusahaan memerlukan kepastian berusaha yang aman tanpa didemo terus menurus. Ini semua mata pilih, hehe….
Harapan kedepan, ada politikus yang berani menjadikan isu agraria sebagai agenda politik menyejahterakan petani dan menyejukkan iklim berinvestasi. Tak usah ragu, ada banyak pengalaman yang bisa diambil dari banyak tempat menyelesaikan persoalan ini. Diperlukan ketekunan dan kemauan mendengar….salam. (***)
Penulis adalah: Warga Bengkulu, jurnalis, Peminat Agraria