PRESIDEN pertama Republik Indonesia (RI), Soekarno sempat menginjakkan kaki di provinsi berjuluk ”Bumi Rafflesia”, Bengkulu. Tidak kurang selama 4 tahun, terhitung sejak 1938 hingga 1942. Awal kedatangan Bung Karno ke Bengkulu tidak disukai warga setempat. Mereka curiga Bung Karno akan membuat pembaharuan yang tidak diinginkan. Namun, tidak sedikit yang bisa menerima perubahan yang ditawarkan.
Bahkan, menganggap Bung karno sebagai tempat bertanya berbagai masalah. Dari urusan agama, rumah tangga, politik hingga urusan mencari jodoh bagi anak gadis setempat. Tidak tanggung-tanggung ada 300-an anak gadis yang meminta dicarikan jodoh. Banyaknya warga yang mendatangi rumah Bung Karno membuat Belanda gerah dan mengirim intel untuk mengawasi tamu. Mereka khawatir Bung Karno akan menularkan semangat perjuangan dan perlawanan.
Akibatnya warga tidak berani datang kecuali tokoh-tokoh setempat, sahabat dan teman seperjuangan serta LCM Jaquet pegawai Hindia Belanda yang mengurus tunjangan Bung Karno yang lama-lama kagum pada Bung Karno yang ramah dan bersahabat. Rumah Bung Karno, Perpadauan Eropa dan Cina Rumah berarsitertur perpadauan Eropa dan Cina, di jalan Soekarno-Hatta RT. 05 RW. 02 No 02 kelurahan Anggut Atas kecamatan Ratu Samban kota Bengkulu provinsi Bengkulu ini merupakan salah satu peninggalan Presiden Pertama RI, Soekarno.
Bangunan diatas tanah seluas sekira 40.434 meter persegi itu merupakan rumah pengasingan Bung Karno, tahun 1938 hingga 1942 di Kota Bengkulu yang merupakan saksi bisu dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Semasa pengasingan Bung Karno di Kota Bengkulu, berbagai peninggalan terdapat di rumah dengan bangunan ubin berukuran sekira 9×18,5 meter itu.
Seperti, 303 judul buku dengan bahasa Belanda yang terdapat di ruang kerja Bung Karno bagian depan, 120 pakaian pentas sandiwara monte carlo, koleksi foto sebanyak 22 buah, tempat tidur.
Lalu, 1 unit sepeda ondel, satu set kursi yang terletak di ruang tamu, lemari makan, surat cinta Bung Karno untuk Fatmawati dan meja rias yang terdapat di kamar Bung Karno.
Rumah yang dibangun Tjang Tjeng Kwai, pada tahun 1918. Sewaktu itu, Tjang Tjeng Kwai bekerja sebagai penyalur bahan pokok untuk keperluan pemerintah kolonial Belanda di Bengkulu. Semasa kemerdekaan bangunan ini pernah dijadikan sebagai markas perjuangan PRI, rumah tinggal AURI, Stasiun RRI, dan kantor pengurus KNPI Dati I dan II. (FH65)